CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 23 Maret 2009

Menjadi Bangsa Berdaya

Domba? Adu domba. Kalau banteng? Oh, banteng biasa sudah langka, yang banyak banteng moncong putih. Indonesia mengalami metamorfosis menjadi animal farm.



Negara kambing hitam

Hewan paling favorit adalah kambing hitam. Kadang kala sangat menguntungkan bagi yang berkepentingan. Contohnya kekacauan di animal farm kita sekarang.



Bayangkan, seandainya di Indonesia ini tidak pernah terjadi tsunami Aceh, tidak ada busung lapar, demam berdarah, polio, flu burung, dan harga minyak bumi di pasaran internasional tidak mengamuk naik, matilah kita karena kambing hitam tidak laku. Sebab, siapa lagi yang mau disalahkan. Coba!



Kambing hitam paling perkasa kini adalah Amerika Serikat, Eropa, dan lain-lain. Awal-awal Orde Baru dulu, komunis menjadi kambing hitam terbesar dan laku dijual. Kini kalau ada bom meletus, mesti Amerika yang mau mengadu domba.



Negara-negara ASEAN, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Filipina senasib dengan Indonesia. Vietnam itu baru selesai perang. Namun, perangnya itu bukan dengan Belanda yang mengirimkan KNIL, melainkan Amerika Serikat yang mengirimkan B-52 dan bom napalm. Vietnam itu hancur luluh. Kini dia bangkit. Pada SEA Games 2005, Vietnam menduduki tempat ketiga. Lima tahun yang lalu Vietnam sudah memiliki sarjana fisika bergelar PhD sebanyak 15.000 orang. Bayangkan, fisikawan saja 15.000 orang, sedangkan sejarahnya diwarnai penuh pergolakan. Sebentar lagi ia menjadi singa ekonomi.



Hal lain lagi, harga minyak pernah mencapai 70 dollar AS/barrel. Vietnam tidak punya minyak sama sekali, tetapi tidak merengek-rengek seperti bangsa Indonesia dengan menipu bangsa sendiri. Mereka tidak mencoba menyihir minyak bumi menjadi kambing hitam. Namun, mereka berpikir, mengerahkan segala daya upaya, mengatur taktik dan strategi berjangka panjang, serta berpikir jauh ke depan. Tidak mencoba mencari jalan pintas dengan menunggang kambing hitam.



Apa yang dimiliki negara-negara ASEAN lain yang tidak kita punyai? Penduduk Malaysia itu sepertiganya Melayu, sepertiga lagi keturunan India, selebihnya keturunan China. Keturunan India dan keturunan China lebih besar jumlahnya dari Melayu. Mereka itu rajin, hemat, suka menabung, dan kerja keras; mereka itu yang membuat Malaysia maju.



Kenapa kita miskin?

Kenapa bangsa-bangsa ASEAN lain maju, sedangkan bangsa Indonesia itu miskin dan ketinggalan dalam banyak hal?

Hal ini banyak diperdebatkan oleh banyak ahli. Berbicara tentang soal ini tak habis-habisnya. Singkatnya, beberapa ciri dapat dikemukakan sebagai prasyarat kemajuan, antara lain:

1. Berpegang pada prinsip-prinsip etika yang kuat;

2. Berdisiplin tinggi;

3. Bertanggung jawab (accountable);

4. Menghormati hukum dan peraturan;

5. Menghargai hak warga lain;

6. Senang bekerja ('Kerja itu Mulia);

7. Bekerja keras untuk dapat menabung dan berinvestasi;

8. Berkemauan untuk bertindak hebat;

9. Menghargai waktu;

10. Betul-betul memanfaatkan sains dan teknologi.

Ini yang disebut sepuluh prasyarat untuk maju, sejahtera, dan kaya.



Sobirin dkk (2005) mengatakan, bangsa Indonesia itu miskin karena tidak memiliki sikap dan tidak memiliki kemauan untuk melaksanakan serta mengajarkan prinsip-prinsip fungsional dari masyarakat maju dan kaya.



Salah satu sikap dan kebiasaan yang sangat perlu dipupuk sejak kecil adalah kebiasaan menabung. Kita lihat sewaktu krisis moneter menerpa beberapa negara Asia di tahun 1997, Thailand, Korea Selatan, dan Taiwan cepat bangkit kembali karena mereka punya tabungan yang besar.



Pada saat ini cadangan devisa RRC sudah mencapai 769 miliar dollar AS, Hongkong 122 miliar; sementara Indonesia cuma 31,2 miliar (The Economist, 10/12/2005). Negara-negara seperti RRC, India, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Taiwan, dan Hongkong semuanya dicirikan oleh tabungan yang besar.



Bangsa Indonesia itu boros, sangat boros, tidak suka menabung, complacent (cepat puas diri dan menjadi lengah), suka menganggap semua masalah itu enteng dan mudah (taking things easy); hanya puas dengan formalitas saja (jika ada masalah antara dua kelompok masyarakat, masalah tersebut diselesaikan dengan acara yang sangat formal dan superfisial, seperti menandatangani piagam bersama atau doa bersama tanpa mencoba mengerti dan memecahkan masalah dasarnya).



Semasa Orde Baru muncul sikap arogan dan berkeyakinan bahwa kita bangsa super: paling beragama dan paling rukun; paling luhur budi pekertinya, paling ramah, Tanah Air kita paling kaya, paling indah; UUD-45 itu adalah suatu masterpiece (tanpa menyadari bahwa UUD-45 tidak lain dari jiplakan konstitusi Belanda tahun 1814).



Langkah ke depan

Sekarang kita terpuruk menjadi salah satu negara paling korup di dunia; dikenal sebagai negara paling birokratik (in the worse sense), pegawai pemerintahan hanya tabu memeras/minta uang jasa saja; jiwa dan semangat melayani masyarakat tidak ada pada birokrasi pemerintahan. Ini yang perlu dirombak secara total. Dari jiwa pemeras menjadi jiwa pelayan masyarakat. Pegawai negeri kita, terutama yang di atas, dikatakan paling arogan dan manja (tas sekecil apa pun, sampai ke kacamata saja harus dibawakan ajudannya), sementara pemimpin negara-negara maju lain tidak berbuat seperti itu.



Padahal, kita bukan apa-apa. Ini diakui dulu. Namun, kita harus sadar bahwa kita mempunyai banyak hal yang dapat membuat kita menjadi barigsa yang mandiri, berdaya, dan jaya asal saja kita jujur (kenal diri kita). Kita mempunyai tradisi dan budaya yang dapat dikembangkan. Ketahuilah, kita mendiami suatu Tanah Air berupa suatu benua maritim yang amat strategik. Benua maritim Indonesia itu dicirikan oleh keanekaragaman yang amat besar, yakni bio-geo-ethno-socio-cultural diversity. Keanekaragaman itu dapat dijadikan modal dan tempat berpijak awal untuk berkembang.



Jika itu yang dikembangkan, Indonesia akan menjadi suatu pusat penelitian ilmiah dunia dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam. Itu yang dilakukan oleh orang-orang Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-lain. Mereka meneliti kekhasan kepulauan Indonesia dan menjadi ilmuan ternama, seperti Vening Meinesz, Umbgrove, Kuenen, Du Bois, Weidenreich, Von Koeningswald, Eijkrnan, dan Wallace. Itu jauh lebih besar nilainya dari sumber daya minyak, gas, dan batubara karena sumber daya alam itu suatu waktu akan habis.



Pengetahuan yang dikembangkan untuk mengembangkan sumber daya alam itu tak habis dipakai, bahkan semakin bertambah. Itu, perbedaan antara sumber daya alam dan pengetahuan. Semakin banyak dipakai, pengetahuan itu kian berkembang, sumber daya yang tak habis-habisnya.



Negara-negara maju berteriak "sumber daya alam tidak penting lagi, yang penting kemampuan teknologi'. Sikap kita seharusnya sebagai berikut: Kita kembangkan teknologi sambil kita kembangkan sumber daya alam dan lingkungan alam yang ada di sekitar kita secara optimum. Jangan sekali-kali kita berkata, "sumber daya alam tidak penting lagi". Jangan sekali-kali! Bersyukurlah bahwa kita masih punya sumber daya alam yang "sedikit" itu.


Di Indonesia sangat sukar berbicara tentang hewan-hewan yang dulu lazim banyak terlihat berkeliaran di sekeliling kita. Ini dikarenakan wabah flu-setan. Misalnya sapi, kambing, kelinci, domba, dan banteng. Sebab, sapi sudah berubah menjadi sapi perah; kambing menjadi kambing hitam; kelinci menjadi kelinci percobaan.

Kita harus tahu dengan sebenar-benarnya apa yang kita miliki, apa yang tidak kita miliki. Itu perlu pengetahuan, perlu sains, dan perlu teknologi. Kita harus belajar menjadi anggota masyarakat dunia karena kita hidup di Bumi.



Kita harus insaf. Abad ke-21 ini sarat dan kental dengan sains dan teknologi. Masyarakat manusia memasuki kultur abad ke-21 di mana muncul modal dan industri virtual (maya); reduksionisme digantikan oleh sinergisme yang tinggi; fraktal dan kompleksitas menggantikan pikiran-pikiran yang linier dan geometrikal. Perubahan itu tidak menunggu kita.

0 komentar: